Pontianak, 30 November 2024.
Seperti yang diketahui bersama bahwa, Ujian Akhir Semester (UAS) merupakan salah satu diantara upaya dalam dunia pendidikan yang memiliki tujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik/siswa-i/mahasiswa-i. Dimaksudkan sebagai salah satu syarat pendukung kelulusan mereka. Diselenggarakan dalam ruangan tertutup, kondusif, dan hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu dengan suasana yang tak jarang terasa mencekam. Akan tetapi, tidak dengan Ikatan Mahasiswa Seni (Ikan Mas) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNTAN Pontianak, ujian praktek hadir sebagai pergelaran yang disambut dengan sangat meriah, penuh kebersamaan, dan kegembiraan.
Bermula dari mata kuliah “Drama Tari” Prodi Pendidikan Seni Pertunjukan FKIP Universitas Tanjungpura, yang diampu oleh Pak Ismunandar S.H, S.Sn, M.Pd, dan Ibu Dwi Oktariani, M.Pd. Ikan Mas hadir mempersembahkan pertunjukan drama tari bertajuk “Legenda Batu Betarup”. Sebuah cerita rakyat asal Sambas, Kalimantan Barat. Cerita bersejarah yang dikenal sakral dan melegenda sampai sekarang. Sebagai pemenuhan syarat ujian praktek mata kuliah mahasiswa angkatan 2021, dengan narasumbernya Pak H. Yuhendri.
Terbuka untuk seluruh elemen masyarakat umum, pergelaran ini diselenggarakan pada malam hari, 29 dan 30 November, 2024, di Taman Budaya Provinsi Kalimantan Barat.
Menumbuhkan Silaturahmi Melalui Drama Tari
Berbicara tentang sejarah dan fakta tentulah sangat menarik, dua hal yang tidak dapat dilepaskan. Begitu pula untuk menampilkan karya yang fantastis serta sakral, tentu tidak bisa dilakukan sembarangan, wawancara ke lapangan, riset dan observasi wajib untuk dilakukan. Teruntuk penggarapan pra produksi drama tari legenda batu betarup sendiri berlangsung selama kurang lebih 3 bulan, dimulai dari bulan Agustus-November 2024.
Dikemas dalam komposisi tarian yang sangat estetik, dimulai dari konsep gerakan tari, pemilihan kostum, aksesoris dan semua yang berkaitan dengan alat maupun bahan pendukung pementasan di atas panggung, diperhatikan dengan sangat detail, sehingga penampilan yang disajikan kepada penonton yang hadir terhidangkan dengan sangat memuaskan.
Terlebih lagi, pergelaran yang diselenggarakan tidak hanya melibatkan para mahasiswa dari prodi seni pertunjukan, namun juga berkolaborasi dan disupport dengan penari dari berbagai sanggar yang berbeda-beda. Salah satunya ialah yang memerankan tokoh anak Mak miskin, yaitu “Siti Asikin” yang diperankan oleh Abelia Risma Damayanti (10 tahun) berasal dari Sanggar Borneo Tarigas. Jadi bukanlah hal yang aneh, ketika acara ini mendapatkan apresiasi yang sangat luar biasa dan antusias yang sangat tinggi dari para penonton.
Maka dapat diketahui pula bahwa, selain digelar sebagai syarat pemenuhan mata kuliah, pergelaran ini juga menjadi ruang temu antar para penggiat seni, khususnya dibidang tari dan masyarakat dari lintas generasi pada umumnya yang turut hadir memeriahkan. Oleh karena itu, sudah menjadi suatu hal yang lazim pula jika jalinan silahturahmi terus terbentuk dan berlanjut dalam menumbuhkan kreativitas berkesenian, khususnya teruntuk para generasi muda yang akan meneruskan kebudayaan lokal atau daerah setempatnya.
Melestarikan Cerita Rakyat dan Nilai Budaya melalui Mata Kuliah
Pergelaran ujian akhir ini juga menjadi salah satu upaya yang dilakukan untuk mengajak peserta didik, khususnya mahasiswa dari prodi seni pertunjukan untuk berpikir kritis serta mengenal warisan budaya lokal disekitar tempat mereka tinggal. Seperti yang kita ketahui bersama, cerita rakyat adalah warisan budaya tak benda yang diwariskan secara turun temurun dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Selain itu, cerita rakyat juga sebagai sarana komunikasi yang pada umumnya disampaikan secara lisan maupun tertulis.
Memilih menampilkan drama tari “Legenda Batu Betarup” yang dilakukan oleh Ikatan Mahasiswa Seni (Ikan Mas) FKIP UNTAN Pontianak misalnya, bukan serta merta atas landasan pemenuhan syarat mata kuliah dan mendapatkan nilai kelulusan semata. Melainkan karena adanya dorongan-keinginan untuk memperkenalkan dan melestarikan cerita rakyat yang berasal dari daerah Sambas, Kalbar. Hal ini dilakukan, agar cerita tersebut tidak lekang karena perkembangan zaman yang terus mengalami pemodernan. Karena pada nyatanya, masih banyak dari masyarakat yang belum mengenal-mengetahui legenda batu betarup.
“Alasan kami memilih judul Legenda Batu Betarup asal Sambas ini karena, kami ingin memperkenalkan cerita rakyat yang ada didekat kita kepada para tamu-penonton yang hadir. Mengingat cerita batu betarup ini sangatlah dekat dengan kita. Oleh karena itu, menurut kami pada pergelaran drama tari kali ini sangat penting untuk mengangkat judul tersebut, agar cerita ini bisa terus lestari. Dan tentu saja, bersamaan dengan itu, kami juga memperkenalkan beberapa budaya yang ada di daerah Sambas, seperti Tarup dan Saro’an melalui penampilan drama tari ini.” Ujar Rona Aqilah Razak selaku Sutrada.
Tarup adalah salah satu tradisi dalam pernikahan adat masyarakat Melayu Sambas. Dimana, dalam prosesi ini dilakukan dengan mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk membangun tarup. Lalu, teruntuk lahan pembangunan tarup biasanya menggunakan halaman rumah tuan hajatan.
Sedangkan budaya Saro’an adalah sebuah tradisi yang kerap kali dilakukan oleh masyarakat Melayu Sambas seperti antar pakatan, yaitu membawa bahan-bahan makanan yang nantinya akan dimasak pada acara saro’an, prosesi ini dilakukan satu hari sebelum acara. Pada penampilan drama tari legenda batu betarup menampilkan sesi saro’ acara saprahan (makan bersama) yang biasanya disajikan untuk enam orang dalam satu nampan lengkap dengan nasi beserta lauk pauknya untuk para tamu yang hadir. Menariknya lagi, pada prosesi ini tamu tidak menggunakan sendok ataupun garpu untuk makan, melainkan hanya menggunakan tangan.
Maka dapat diketahui pula bahwa, pada kedua budaya tadi terkandung nilai-nilai penting dalam kehidupan masyarakat Melayu Sambas, antaranya rasa kebersamaan, gotong royong, dan persaudaraan. Selain itu, pada drama tari legenda batu betarup juga mengandung pesan lainnya seperti nilai-nilai agama, sopan santun, kesusilaan, dan keadilan sosial.
“Sebagai seseorang yang belum pernah merasakan bagaimana rasa menjadi seorang Ibu dan harus memerankan tokoh Mak Miskin, tentu saja ini menjadi tantangan sekaligus pengalaman yang menyenangkan bagi saya. Terlebih lagi dalam cerita ini saya harus berlatih mengolah emosi dan memposisikan diri sebagai seorang ibu dari keluarga yang sangat dikucilkan oleh masyarakat desanya. Setelah saya memerankan tokoh Mak Miskin ini, hal yang paling dapat saya rasakan ialah, tidak ada seorang pun ibu yang ikhlas dan hatinya baik-baik saja melihat anaknya diperlakukan dengan tidak baik oleh orang lain. Lalu pesan lainnya yang dapat saya ambill yaitu, karena Mak Miskin ini sangat marah, beliau akhirnya berdoa kepada Tuhan agar membalaskan rasa sakit hatinya sehingga satu kampung tadi terkena kutukan dan berubah menjadi batu betarup. Yang pada intinya, pesan dari cerita ini, sebagai makhluk sosial sudah seharusnya kita memperlakukan setiap orang dengan sama dan berprilaku baik kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan dari segi apapun itu. Karena kita tidak akan pernah tahu balasan apa yang akan kita terima dari sikap-perlakuan kita kepada orang lain.” Ujar Marta Yana Putri Pemeran Tokoh Mak Miskin. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Ditulis Oleh : Sasandra Ahsya Tiara