Provinsi Kalimantan Barat kembali menjadi panggung kreativitas seni tradisional dalam kegiatan residensi dan pergelaran musik bertajuk “Wajah Kalbar”. Acara residensi yang berlangsung pada 18-22 November 2024 di Aula Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XII ini melibatkan seniman musik perseorangan dan sanggar dari 14 kabupaten/kota di Kalimantan Barat.
Ide awal kegiatan ini bermula dari beberapa keinginan yang terelaborasikan antara BPK Wilayah XII Kalbar dengan rekan-rekan di Balaan Tumaan, dimana dari pihak BPK Wilayah XII ingin menampilkan beberapa instrumen lokal Kalbar berikut pemainnya dalam satu panggung, sebagai program tingkat lanjut dari upaya pelestarian dan pengenalan terhadap Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) Provinsi Kalimantan Barat terutama di bidang seni musik. Alhasil, dari ide awal tersebut terkemaslah suatu pertemuan yang indah dimana instrumen sape’, silotoang, ginggong, rebana, senggayong, kledik, kecapi delapan dewa, erhu, suling, gong, dau, selodang, tar, dan beruas yang akhirnya bisa hadir berikut dengan para pemainnya yang ternyata memiliki perbedaan generasi (gen x, gen y, dan gen z).
Membangun Identitas Lewat Seni
“Wajah Kalbar” bukan sekadar acara seni, melainkan wadah untuk membangun identitas budaya. Melalui keterlibatan seniman dari berbagai daerah, kegiatan ini mencerminkan keanekaragaman Kalimantan Barat yang bersatu dalam bingkai seni tradisi.
Seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya, acara ini diisi oleh peserta residensi dari lintas generasi. Salah satunya ialah Graciella S. anak perempuan berusia 11 tahun atau jika berdasarkan usianya akrab dikenal sebagai bagian dari gen-z. Sebagai peserta perempuan termuda Grace aktif memainkan alat musik ginggong sejak berusia 5 tahun. Memilih alat musik ginggong sebagai seni musik tradisional yang dtekuni sejak kecil pun bukanlah tanpa alasan, seperti yang disampaikan oleh Grace
“Menurut saya ginggong adalah alat musik tradisional yang unik. Selain itu, alasan kenapa saya memilih memainkan alat musik ginggong karna alat musik ini katanya sudah hampir punah. Oleh karena itu, saya sangat ingin terus memainkannya agar ginggong bisa terus lestari.”
Proses Kreatif dalam Residensi Selama 5 Hari
Kegiatan residensi ini dirancang dengan pendekatan kolaboratif, melibatkan total delapan kelompok yang dibagi berdasarkan kategori: (1) Idiofon metal, (2) Gesek, (3). Dawai dan vokal, (4) Senggayang silotoang, (5) Perkusi tangan ritmis, (6) Tiup bambu dan (7) Petik. Selain itu, terdapat satu kelompok ekstra, yaitu (8) Tari/gerak, yang bertugas merespons hasil diskusi dan bunyi dari tujuh kelompok musik tersebut. Dalam lima hari residensi, para peserta tak hanya mengekplorasi potensi instrumen tradisional lokal, tetapi juga menciptakan dialog artistik lintas budaya.
Proses kreatif ini menghasilkan metode outcome-based learning, yang memadukan kolaborasi sebaya (peer education) sebagai sarana pembelajaran dan pengembangan seni. Setiap kelompok diberikan ruang untuk mengolah gagasan secara mandiri, namun tetap saling merespons untuk menciptakan harmoni.
Hari pertama, para pegiat budaya dibagi menjadi 7 (tujuh) kelompok kecil dan 1 (satu) kelompok besar. Kelompok kecil semuanya terdiri dari musik, dan kelompok besar terdiri atas para penari yang merespons hasil diskusi dan kolaborasi harmonisasi keenam kelompok kecil tersebut.
Hari kedua, diskusi lebih mengarah kepada perubahan-perubahan kecil atas komposisi tiap-tiap hasil diskusi kelompok kecil di dalam antar personelnya sendiri. Kelompok kecil pertama hingga keenam saling bertukar cerita tentang kesulitan mengompakkan masing-masing alat musik (terbagi dua secara umum antara musik dawai gesek Barat yaitu violin dan lainnya, dan tradisional Timur yaitu Sape Dayak dan lainnya).
Hari ketiga, diskusi menjadi lebih mengerucut pada bagaimana mengubah nuansa dan rasa musik agar lebih sesuai dengan apa yang disimpulkan di hari kedua. Pada hari ketiga ini, keseimbangan atau proporsi antara Barat yang diperuntukkan menyasar budaya mendengar Gen Z, Gen A dan Timur yang sifatnya lebih ke generasi milenial-boomer dan boomer (generasi terdahulu, kelahiran akhir 1990-an hingga 1960-an).
Hari keempat, diskusi dan sesi latihan mengulang kembali beberapa hari sebelumnya dan muncul suara-suara opini yang lebih inovatif sifatnya untuk merekonstruksi proporsi Barat dan Timur yang sudah disusun rapi sebelumnya, sekadar antisipasi apakah ada ide-ide lain yang muncul dari permenungan tiap pegiat budaya di hari-hari sebelumnya.
Hari kelima dan hari terakhir, pementasan dilakukan untuk mempertontonkan hasil kolaborasi ini, sebagai bukti autentik bahwa dialog antar generasi yang kerap dipandang gagal secara politis namun berhasil dijembatani secara dialogis musik.
Pergelaran Musik di Taman Mal Gaia Berhiaskan Rintik Hujan
Puncak dari kegiatan ini adalah pergelaran musik “Wajah Kalbar” yang diselenggarakan pada 23 November 2024 di Taman Mal Gaia. Meski hujan mengguyur sejak awal hingga akhir acara, namun semangat para seniman dan penonton tetap membara dan menciptakan suasana yang bahagia, hangat, serta intim. Hasil kolaborasi selama residensi ini tersuguhkan dengan pertunjukan yang sangat memukau, sehingga mengangkat impresi baik terhadap kekayaan budaya Kalimantan Barat melalui suara dan gerak.
Penonton dibuat takjub oleh harmoni unik yang tercipta, mulai dari denting idiofon, alunan gesekan dawai, hingga tarian penuh ekspresi. Pergelaran ini menjadi simbol perpaduan tradisi yang hidup dalam keberagaman, sekaligus bukti nyata bahwa seni tradisional mampu beradaptasi dengan pendekatan modern tanpa kehilangan esensinya.
Menariknya lagi, keharmonisan perbedaaan yang dijadikan ke dalam satu perpadu-padanan yang sangat harmoni itu ternyata merupakan pergelaran yang pertama kali diselenggarakan di Kalbar, seperti yang disampaikan oleh Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab Kubu Raya Bapak Darfiansyah, S.K.M.M.Si
“Pergelaran Seni Wajah Kalimantan Barat Dalam Warna Musik Tradisi adalah sebuah pergelaran pertama kali yang diadakan di Kalbar. Dimana, dalam pergelaran ini menampilkan alat musik pilihan yang suaranya sudah sangat lama dirindukan, yaitu suara alat musik tradisional Kalbar. Pergelaran ini diadakan dengan maksud sebagai pemantik penyemangat dan menginspirasi, khususnya anak muda yang hari ini hadir sebagai peserta ataupun penonton untuk terus melestarikan nilai seni budaya di Kalbar”
Dan tentu saja, kegiatan ini tidak serta merta begitu saja langsung ada. Jauh sebelum pergelaran ini diselenggarakan Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wiayah XII Bapak Juliadi, S.S., M, Sc. mengadakan pertemuan dengan para seniman Kalbar untuk mengadakan kegiatan. Dimana dalam kegiatan ini melibatkan musisi dan alat musik tradisional.
“Begitu saya ditempat tugaskan di Kalbar, saya langsung mengajak para seniman lokal untuk berdiskusi membahas kegiatan yang berkaitan dengan alat musik tradisional. Tujuannya ialah untuk mengenalkan alat musik tradisional yang ada di Kalimantan Barat kepada masyarakat. Hal ini kami lakukan karena mengingat masih kurang dikenalnya alat musik tradisional yang kita miliki oleh masyarakat umum”’ Tutur Pak Juliadi, pada saat memberikan kata sambutan sebelum acara dimulai
Apresiasi dan support pun tidak hanya berputar diantara peserta dan seniman terkait. Begitu juga dengan semangat yang mereka bawakan, energi tersebut tidak hanya terbagi untuk mereka namun juga untuk khalayak ramai yang hadir membersamai. Hal tersebut tersampaikan oleh salah satu penonton yang hadir pada sesi acara di Mal Gaia pada malam itu.
“Sebagai penonton yang tadinya mampir ke sini karna mau jalan-jalan aja, setelah melihat penampilan para seniman yang tampil tadi secara gak sengaja dan membuat saya hadir sampe akhir, menurut saya pergelaran ini sangat patut untuk diapresiasi mengingat semangat dan effort mereka yang sangat luar biasa meskipun ditengah guyuran hujan seperti ini. Terlebih lagi kegiatan ini diadakan di ruang publik-di Mal yang siapa saja bisa hadir dan melihat, ngebuat acara ini semakin terkesan seru dan menyenangkan karena konsepnya yang menarik. Kolaborasi penampilan pertunjukan musik dan tari yang sangat keren tentunya buat saya yang baru pertama kali menyaksikan pertunjukan seperti ini. Terlebih lagi alat musik yang dimainkan merupakan alat-alat musik tradisional yang jarang ditemui atau mungkin emang dari saya nya yang belum mengetahui karena terlalu asik sama yang modern-modern gitu, jadi nama alat-alat musik yang disebutkan oleh MC pun saya juga kurang tahu bahkan beberapa diantaranya baru tahu pas tadi, pengalaman dan ilmu baru sih pastinya untuk saya pribadi sebagai masyarakat umum.” Tutur Tiara pada saat diwawancara.
Keberhasilan acara ini menjadi inspirasi bahwa seni tradisional dapat menjadi medium untuk mempererat tali budaya sekaligus memperkenalkan kekayaan lokal kepada khalayak yang lebih luas. Semoga langkah ini terus berlanjut, membawa seni Kalimantan Barat ke panggung nasional dan internasional. [TS]
————————————–
Ditulis oleh: Tim Siberdaya, dalam liputan khusus selama 6 hari