Oleh: Bernard Selfry Yamaraja, B.Sc.
Berkesempatan datang menghadiri 2 kali seri diskusi kebudayaan bertajuk “Pengembangan Kapasitas dan Strategi Komunikasi Melalui Dialog Budaya”, yang dihelat di 5 warung kopi di 5 kecamatan Kota Pontianak selama bulan juni penuh, saya mendapati banyak informasi dan insight baru mengenai kebudayaan di Kalbar ini.
Saya baru mengetahui mengenai adanya program Bantuan Pemerintah (Banpem) Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan (FPK) dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII Kalimantan Barat, dan saya juga baru mengetahui tentang isu-isu kebudayaan disini. Selain itu saya juga akhirnya bisa mendapatkan kejelasan mengenai Bamusbud Kalbar (Badan Musyawarah Kebudayan Kalimantan Barat), sebuah organisasi yang akhir-akhir ini menguasai lini masa pembicaraan dan media. Akhirnya melalui program diskusi tersebut, saya bisa menjumpai dan berbicara secara langsung dengan orang-orang yang ada di Bamusbud.
Diskusi kebudayaan: “Pengembangan Kapasitas dan Strategi Komunikasi Melalui Dialog Budaya”
Ini adalah program dari salah satu penerima Banpem FPK BPK wilayah XII, untuk kategori perseorangan atas nama Hatta Budi Kurniawan. Nama yang lama saya kenal, namun baru 2 tahunan ini sering bertemu. Sayang saya hanya dapat menghadiri 2 seri terakhirnya. Tapi dari sini saya menangkap bahwa 5 seri diskusi ini, didedikasi oleh Hatta untuk menghangatkan mesin gerakan di awal-awal berdirinya Bamusbud. Pantas saja 5 materi yang disuguhkan terasa seperti workshop terintegrasi. Mari kita lihat: yang pertama di Nowadays Coffee, Pontianak Selatan mengusung tema “Kerja-Kerja Jejaring Seni Budaya”, yang ke-2 di Café University, Pontianak Barat dengan tema “Strategi Komunikasi Dalam Pemajuan Kebudayaan”, yang ke-3 di Kedai Cangkir, Pontianak Kota membawakan tema “Advokasi Seni Budaya”. Tema-tema ini jelas saja semacam rantai yang berkaitan.
Di seri ke-4, seri yang mulai saya hadiri bertempat di Teras Putih, sebuah kedai kopi tradisional di Imam Bonjol, Pontianak Tenggara. Bertemakan “Pengelolaan Lembaga Seni Budaya”, diskusi ini dimoderatori oleh Yeni Mada, seorang civitas BRIN, yang menghadirkan Hatta Budi Kurniawan, dan (Bang) Yuza Yanis, seorang seniman senior Kalimantan Barat. Tema ini cukup menarik, dan terbukti menghadirkan pengunjung diskusi yang memang ingin nimbrung. Selain itu, diskusi juga menyedot atensi dari pengunjung lain yang terpantau serius melihat ke layar ppt dari narsum. Ini nilai plus, sebuah diskusi di warung kopi menghadirkan ppt dari narsumnya, Hatta dengan ppt pola pengelolaannya di Siberdaya, dan Bang Yuza dengan ppt pola pengelolaannya di Sanggar Bougenville (sanggar yang sudah 40 tahun).
Seri ke-5 diskusi yang bertema “Membaca Potensi Seni Budaya”, menghadirkan sosok-sosok baru yang inspiratif. Seorang penari cilik perempuan bernama Sada Alma Arkarna, sekaligus Duta Budaya Kalimantan Barat, yang bersekolah di kelas tujuh SMP (Sekolah Menengah Pertama) Negeri 3, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, yang telah mewangikan nama Provinsi Kalimantan Barat sebagai pembawa tarian adat budaya tradisional suku Dayak di Roma, Italia, pada tahun ini 2024. Tandemnya Alma adalah Ibeng, penyiar senior RRI Pro 4 yang beropini keras bahwa peran media sangat penting bagi misi seni dan budaya.
Bertempat di Pontianak Timur, tepatnya di Tempias Kopi 212, sebuah warung kopi di tepian Sungai Kapuas. Seri diskusi terakhir ini berjalan khidmat tanpa halangan apapun. Meski diterpa terik panas sinar matahari Pontianak sebagai salah satu kota yang dilintasi garis horizontal Khatulistiwa, para tamu undangan serta penonton dari masyarakat umum menyimak dengan saksama tiap pembicaraan pada diskusi yang memakan waktu hingga 3,5 jam. Luar biasa.
Bamusbud Kalbar
Ada keterikatan yang organik dan penuh perhatian dari setiap insan dan komunitas seni budaya yang tergabung dari 14 Kabupaten/Kota dan akhirnya mendeklarasikan Bamusbud Kalbar pada gelaran MMK (Majelis Musyawarah Kebudayaan) 2024, 14-15 juni lalu. Sungguh ini sangat sulit terjadi dalam kondisi normal, dimana tiap kabupaten di Kalbar ini berkenan hadir dan berkumpul secara sukarela untuk sebuah tujuan bersama. Perhatian atau intensi sebesar ini seolah pesan yang mendalam sekaligus lantang untuk masyarakat Kalbar agar mulai melek terhadap kebudayaan lokal dengan keterkaitannya kepada proses poltik dan sinergisitasnya dengan unsur pemerintah maupun swasta.
Bamusbud ini setidaknya berfokus pada satu misi penting yaitu mengutilisasi ataupun memfungsikan sebuah kelembagaan untuk strategi pemajuan kebudayaan lokal, yang dinilai masih belum menuai hasil maksimal dengan indikator IPK (Indeks Pembangunan Kebudayaan) Kalbar yang rendah. Sehingga kelembagaan budaya dengan segenap legal formalnya adalah jalan yang dipilih untuk dapat masuk ke ruang policy brief dan lebih mengartikulasi secara holistik visi dan misi kebudayaan Kalbar.
Bamusbud memantapkan dirinya sebagai penjaga gerbang (gatekeeper) pergerakan dan aktivisme ataupun kegiatan berkebudayaan di Kalbar. Hal ini berarti, kedepan siapapun yang hendak menjalankan program pemajuan kebudayaan di Kalbar ini, maka perlu menghadirkan aspek-aspek penting yang sebelumnya kurang diperhatikan seperti: Kegiatan riset seni budaya, pengikutsertaaan stake holder seni budaya, diskusi publik, dan pemetaan wacana ruang pemajuan kebudayaan secara bersama (tidak lagi parsial). Sehingga tolok ukur dalam upaya pemajuan kebudayaan dapat mulai dipetakan dan disinergikan, bukan lagi semata-mata sebuah perangkat gugur kewajiban, ataupun (kesempitan) berparadigma. []
- –
(Penulis juga biasa dipanggil dengan Bernard Batubara. Seorang penulis asal Kalbar yang aktif juga menulis di mojok.co. Direktur utama Collective Academia: Pusat Studi Kajian Agama dan Sains)