Pontianak, 23 Desember 2024
Pada Kamis malam, tepat pukul 19.00 WIB Hyenas band rock progresif alternatif Kalimantan Barat, bersama korporasi tunggal penaung kegiatannya, CW Records, menyelenggarakan sesi dengar perdana, “And So It Appears”, album perdana mereka pula. Sesi ini diselenggarakan beserta lokawicara yang berlangsung hingga pukul 21.00 WIB bertempat di CW Coffee Danau Sentarum, lantai 3. Saat ini, album perdana mereka sudah dapat didengar di semua kanal pemutar musik digital.
Band yang berdiri pada tahun 2014 ini, dengan kelengkapan nama-nama personel berikut posisi pada band: Andika Patrya (vokal), Edo Dzulqarnaen (gitar), Prasetyo Panji Anggono (gitar), Dicky Reno (bas), dan Risman (drum) artinya sudah malang dan melintang di belantika musik Indonesia selama satu dekade. Dapat dipastikan, genre pilihan mereka sudah menjadi zona nyaman. Terinspirasi oleh band asal Islandia, ADHD, apakah album perdana ini masih akan melanjutkan kejayaan Glucose ataukah memberi warna baru? Ini yang kita butuh tahu.
Yang pasti, penggunaan Bahasa Inggris masih dipegang erat dan diyakini oleh Hyenas mendongkrak selera musik masyarakat Kalimantan Barat, khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Namun, tidak bisa kita pungkiri bahwa pilihan selera lirik dan diksi ini akan meningkatkan atensi dan fokus global ke arah eksisting mereka, paling tidak, sebatas Asia Tenggara, atau bahkan lebih luas lagi, mengingat hingga hari ini penggunaan bahasa internasional masih diakui sebagai penggunaan bahasa Inggris.
Band yang kesemuanya diisi oleh personel bergender pria ini yang mana sebagian besar telah berkeluarga, mengusung semangat album perdana atas 3 (tiga) hal: jeda, refleksi, dan mencipta. Tiga hal ini yang perlu kita perhatikan atau dekonstruksi dari lirik dan notasi musik Hyenas di album perdana sekaligus baru mereka.
Bicara soal musik dan selera antargenerasi, kita dapat katakan bahwa Kalimantan Barat memiliki variasi yang sangat beragam, bahkan beberapa di antaranya cukup spekulatif dalam menjangkau pasar pendengar musik. Contoh salah satunya Hyenas, dengan bahasa Inggris dan genre rock yang dikombinasikan, tidak bisa tidak sebuah kata spekulasi pasar kita usung dalam membahas secara serius band dan album And So It Appears (terjemahan saya: “Maka, Muncullah).
Apa yang muncul dari album berbahasa Inggris ini selain spekulasi kita sendiri atas mendongkraknya popularitas mereka di kancah global disertai meningkatnya omzet album sekaligus bingkisan yang lebih tinggi dari sekadar kurs Rupiah.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa idealisme seni bermusik tidak lepas dari harapan dan ekspektasi positif dalam menunggu profit keuntungan atau cuan dari bermusik, meski tidak harus keduanya kita benturkan karena terbukti CW Records sebagai induk pemutar akumulasi kapital modal keuangan Hyenas mampu menerima band ini apa adanya dengan pilihan selera dan genre serta jenis bahasa yang mereka pakai.
Dengan demikian, politik bahasa pun tidak pelak perlu kita ketengahkan dalam membahas album Hyenas ini. Bagaimana percampuran bahasa daerah, bahasa ibu atau bahasa kanon nasional (Bahasa Indonesia sesuai PUEBI), dengan Bahasa Inggris menjadi pengarah gaya Hyenas baik secara disadari maupun tidak, di tengah-tengah masyarakat yang mungkin tidak secara merata memiliki kemampuan ketiga kategori besar bahasa tersebut, dikarenakan berbagai faktor, salah satunya aksesibilitas dan modal kapital uang untuk misalnya mengakses lembaga belajar bahasa asing atau sekadar menyewa guru atau tutor privat.
PJ Harison pernah berkonferensi pers beberapa tempo bulan lalu, bahwa pengguna Bahasa Inggris di Kalimantan Barat tergolong kelima terbesar di Indonesia. Benar atau tidaknya, mungkin kita harus berhenti berspekulasi dan lebih mengambil jeda untuk berefleksi dan menciptakan ruang-ruang belajar bahasa melalui potensi diri kita masing-masing, agar aksesibilitas luas terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat khususnya yang menengah ke bawah untuk bisa beramai-ramai membeli, mengunduh secara legal, mendengar, tentu menyebarkan ulang, dan membeli serta mengoleksi jualan bingkisan dari Hyenas dan CW Records.
Kembali ke masalah bahasa, licentia poetica atau penerabasan common sense aturan berbahasa di Kalimantan Barat yang mayoritas Bahasa Indonesia, Hyenas mendulang kritik positif dari saya sebab memang relevan menggunakan Bahasa Inggris dalam semangat global.
Namun, kritik negatif dan harapan konstruktif dari saya pribadi adalah, bahwa Hyenas tidak berhenti memahami bahwa ekosistem musik Kalimantan Barat tetap saja, tanpa menjadi babi-babi kauvinis lokal, bukan ini yang kita bicarakan, melainkan ketahanan budaya internal provinsi yang lebih mengutilisasi Bahasa Ibu atau Bahasa Nasional (Indonesia) sebagai konsensus demokratis sosial Kalimantan Barat (di samping terdapat pula tidak sedikit musisi provinsi dan desa berbahasakan daerah dan beralatmusikkan daerah masing-masing). Lagipula, kita mengglobal tanpa menghilangkan kodrat kita sebagai anak kampung daerah. Tidak lantas ditafsirkan sebagai anti-luar, atau anti-asing, sebagaimana dilakukan dengan ciamik oleh kecadasan komposisi And So It Appears, tapi ditafsirkan sebagai merangkul yang liyan, ironisnya kadang liyan ini artinya Indonesia itu sendiri (dalam konteks penggunaan Bahasa Inggris) dan tentu, Inggris itu sendiri sebagai bagian dari Uni-Eropa, liga negara dan bangsa pengusung ADHD, band inspirator Islandia bagi Hyenas.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Ditulis : Oleh Bernard Batubara