Oleh: Bernard Batubara
Bertempat di Port 99, LAS! sebuah formasi band modern yang mengusung tema etnisitas (indigenous) bergenre rock & roll, membawakan oleh-oleh cerita dari residensi teranyar mereka di Bali. Bersama banyak musisi lain, mereka tergabung dalam sebuah pergerakan masif aktivisme revolusioner seni kebudayaan bertajuk “Music Declares Emergency Indonesia”.
Program “Oleh/Oleh” yang dilaksakan pada hari jumat, 23/08/2024 ini merupakan inisiatif Balaan Tumaan, komunitas seni budaya Kalimantan Barat yang telah mengglobal. Kiprahnya tidak cuma diakui di skala lokal tapi juga internasional. Hal ini tidak lepas dari sebuah kelahiran diskursus wacana logika adat yang menjadi antitesa dari modernisme Barat yang kian lama kian menggerus identitas etnisitas kesukuan kita.
Dipandu oleh Arni, perempuan aktivis lingkungan dan feminis muda, juga Reza Zulianda alias “Max” dari Balaan Tumaan, acara berlangsung khidmat penuh keseriusan dan animo positif dari para penonton yang datang dari berbagai kalangan, seperti musisi, seniman rupa, wartawan, dan warga umum berusia remaja, termasuk warga asing.
Selama berhari-hari, LAS! yang diwakili oleh duo kakak-beradik kandung, Bob Gloriaus sang vokalis utama dan Diaz Mraz, penabuh drum, mengaku bahwa mereka seperti kembali belajar lagi secara tertata menyerupai sebuah kelas akademis, tentang perubahan iklim, yang mana memang sejalan dengan tema musik yang sudah lama mereka usung sebagai semangat yang melatarbelakangi karya-karya mereka, kini telah menginjak album ketiga.
LAS! tidak lupa melakukan kontekstualisasi dan relevansi pada banyak kasus terkait perubahan iklim yang kian memburuk di Kalimantan Barat, seperti banjir di Sintang, dan kasus-kasus lain yang ironisnya, sudah kian akrab di telinga kita.
Di ranah akademi, logika adat ini masih dipertanyakan asal-usul epistemologinya, baik itu dari segi etimologi istilah maupun pemaknaan yang menjadi konsensus dalam ranah demokrasi ketatanegaraan, namun dalam praktik, LAS! telah menunjukkan kiprahnya melalui musik, bahwa yang disebut logika adat memang dapat secara ampuh, efektif dan efisien, menjaga nilai-nilai kewarasan kita.
Sebagai band yang telah berusia cukup panjang, LAS! terbilang konsisten memegang idealismenya. Dalam pemahaman saya pribadi, idealisme ini tidak mudah dipegang teguh sebab dalam teorinya, seni yang revolusioner memang lah seni yang beridealisme tinggi, meski demikian tidak bisa dipungkiri godaan untuk menjadi sebuah band yang oportunis dan mengikuti arus zaman tanpa memikirkan nasib intelektual para pendengarnya selalu datang dari berbagai arah termasuk tanpa terkecuali godaan uang yang sangat banyak dari para pemodal dan investor perusahaan yang tertarik pada potensi sebuah band, untuk dimobilisir sebagai alat propaganda menipu warga, LAS! telah lepas dari jerat godaan itu.
Hal ini tidak lepas dari pengalaman sang penabuh drum, Diaz Mraz, dalam berkarir sampingan sebagai penulis blog (blogger), di saat yang lain seusianya telah fasih menenggelamkan diri dalam imersivitas media sosial kekinian yang kian jarang mendidik muatan-muatannya, Diaz masih tetap konsisten dengan blognya. Hal ini juga berdampak pada mutu dan pilihan strategi literer LAS! dalam konteks penulisan lirik.
Kait-mengait antara sastra, musik, dan aktivisme politik revolusioner akar rumput memang tidak ada habisnya dikuliti. Ibarat bawang, tiap lapisan kulit mengandung sebuah esensi makna yang berdiri pada dirinya sendiri, di samping memang merupakan bagian dari satu-kesatuan utuh atas sebuah objek kebendaan.
LAS! adalah tugu monumen revolusioner sebagai tanda sarat akan makna mengenai nasib kemajuan budaya modern dan tradisional, tidak cuma Kalimantan Barat, tapi juga Indonesia. “No Music On A Dead Planet” yang menjadi tajuk residensi mereka di Bali adalah slogan oleh-oleh yang patut kita jadikan alarm pengingat bahwa betapapun indah sebuah musik dikomposisikan, ia tidak akan mampu mengalun di dalam sebuah ruang dan waktu yang telah mati oleh kejahatan manusia itu sendiri. []