Oleh: Sasandra Ahsya Tiara
Sesuai dengan tajuknya, yaitu Borneo Metamorfosa, pameran karya ini menampilkan 52 lukisan karya dari 20 orang seniman yang berasal dari Kalimantan Barat dan menampakan perwujudan akan budaya serta tradisi yang ada di Kalimantan Barat-Borneo yang kini sudah mulai mengalami metamorfosa-metamorfosis-perubahan karena pengaruh modernitas, khususnya yang berkembang di daerah perkotaan.
Berangkat dari rasa kekhawatiran dan peduli akan hal tersebut, para seniman mengajak warga di Kalimantan Barat, Kota Pontianak khususnya, untuk mengenang kembali budaya dan tradisi yang sudah ada sejak lama melalui pameran karya milik mereka yang telah dikonsepkan selama kurang lebih dua bulan. Mengingat Kalbar kaya akan budaya yang menarik dan unik sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi para seniman rupa untuk bereksplorasi dalam mengeskpresikan budaya dan tradisi yang ada melalui pameran karya Borneo Metamorfosa.
Para seniman tersebut antara lain ialah : Agus Arifin, Agus F. Winoto, Aliansyah, Andi Hin, Anjung Sakti Mapayogha, Bani Hidayat, Budi Kurniawan, Chandra Syaputra, Dian Purwanto, S. Hut, Dwi Syarifudin, Ferica Talia Tan, Jonathan Otniel, Mbah Dinan, Nurdiansyah, Puji Rahayu, S.Sn, Rizal HL, Rudiansyah, Syech Alfian Al Samman, Yanuarius, Yudi Purbaya, S. Hut, dan Zahratunnida Gaisani Hidayat.
Pameran yang banyak dihadiri oleh anak-anak, pelajar, sampai orang dewasa ini tentunya kental dengan kearifan lokal budaya-tradisi-suku yang ada di masyarakat Kalimantan Barat, yang pada masa kini sudah mulai mengalami peng-arsiran dengan budaya luar, sehingga penting untuk “dicatatkan” dalam pengkaryaan, demi terus terciptanya ingatan akan pentingnya menjaga budaya dan tradisi yang luhur. Selain itu, juga sebagai bentuk eksplorasi-apresiasi antara para seniman dengan masyarakat atau mungkin masyarakat dengan seniman di Kalimantan Barat, sehingga dapat saling mencintai budaya sejak kini (sekarang) maupun sejak dini.
Seperti lukisan yang berjudul “Distrorsi Bunyi” karya Mbah Dinan, sebuah karya yang menggambarkan tentang refleksi budaya minum tuak, dimana jauh sebelum masa kini, minum tuak merupakan budaya yang dilakukan ketika ada penyambutan tamu agung, pesta perkawinan adat Dayak Ibanik, Tamanik, dan beberapa sub suku Dayak lainnya di Kalimantan Barat. Selain itu, minum tuak bersama juga dilakukan sebagai bentuk ungkapan semangat persaudaraan dan menjunjung tinggi penghormatan kepada sesama manusia. Namun pada masa saat ini, minum tuak bukan lagi menjadi suatu momen sakral, akan tetapi hanya sebagai bentuk euforia kegembiraan belaka. Mereka sudah mulai melupakan esensi dari nilai tuak dalam tampayan itu sendiri yang dulunya merupakan bentuk dari semangat perjuangan dan penghormatan. Lukisan Distorsi Bunyi karya Mbah Dinan hadir sebagai bentuk kritik akan tradisi minum tuak yang kini menjadi lambang gengsi dan produk modernitas tanpa identitas.
Lalu kemudian ada pula lukisan dari Andi Hin yang berjudul “Nyanyian Pipa Yang Memilukan”, yang ingin menyampaikan keresahan dan kerinduannya terhadap salah satu alat musik Tionghoa yang bernama Pipa ini. Dimana pada masa sebelumnya, alat musik Pipa adalah alat musik yang menjadi budaya turun temurun yang pada masa sekarang sudah kurang diminati. Melalui lukuisannya, Andi Hin ingin mengajak masyarakat yang hadir ke pameran dan melihat karyanya menjaga budaya alat musik pipa ini agar tidak hilang dari peradaban dilekang zaman.
Sama halnya dengan Andi Hin yang khawatir budaya yang telah lama ada hilang karena peradaban. Rudiansyah dengan lukisannya yang berjudul Dialog Ibu Pertiwi menyampaikan bahwa kemajuan zaman yang semkain canggih, menjadikan kehidupan yang dijalani terasa seperti ada ancaman, baik itu hal yang positif ataupun negaitif. Baik itu dari segi ekonomi, sosial ataupun budaya. Dialog Ibu Pertiwi menjadi persoalan krisis generasi soal budaya sendiri.
Karya selanjutnya ialah milik Agus Arifin dengan judul “Ngareho We’ Jonggan”. Melalui gambaran lamunan wanita tua pelaku seni Jonggan tradisional yang dibenaknya penuh harapan serta kerinduan akan seni Jonggan agar dapat terus melestari dan lekang oleh waktu. Mengingat dulunya kesenian ini menjadi hiburan yang paling digemari oleh masyarakat Dayak Kanayatn, sekarang sudah mulai perlahan menghilang karena masuknya kesenian yang jauh lebih modern dan mudah diakses.
Selanjutnya lukisan karya dari Budi Kurniawan yang berjudul “Nenek Snack Time”. Karya lukis yang menggambarkan tentang budaya menyirih yang dulu kerap kali sering dilakukan oleh masyarakat dan dipercaya didalamnya terkandung simbol status sosial, ritual keagamaan, kesehatan, kecantikan, ajang silahturahmi, bahkan ekspresi seni, kini sudah tidak ada lagi-tidak lagi di adopsi dikarenakan tergerus oleh arus globalisasi dan teknologi.
Bergeser dan hilangnya tradisi karena arus globalisasi dan teknologi pun terus berlanjut diekpresikan oleh Syech Alfian Al Samman melalui karyanya yang berjudul “Baliatn”. Tradisi Baliatn adalah tradisi perdukunan masyarakat Dayak Kanayat. Dalam Tradisi Baliatn terdapat Baliatn Barobat (penyembuhan), Baliatn Ngangkat Paridup (memperbaiki kehidupan manusia), dan Baliatn Muang Sangar (buang penyakit dan bala pada suatu kampung). Akan tetapi, tradisi ini pada masa sekarang sudah mulai hilang dan karena kemajuan pendidikan serta teknologi, masyarakat diharuskan untuk maju namun meninggalkan budaya yang ada sejak lama.
Terakhir, karya dari Dwi Syarifudin yang berjudul “Adat dan Adab”. Melalui karyanya, Dwi Syarifudin mengajak kita untuk terus ingat bahwa, setiap kebudayaan dan peradaban bangsa pasti dibangun diatas peninggalan Budaya dan Adab dari para leluhurnya. Oleh karena itu, sudah pasti harga diri dan jati diri suatu bangsa tidak boleh keluar ataupun berubah karena modernisasi. []