Ditulis oleh: Bernard Selfry Yamaraja, B. Sc
Saya menemui Haris Supiandi, sutradara, produser, dan dosen KPI IAIN Pontianak, di Nowadays Coffee, tepat di jantung kota dan kawasan administratif pemerintah Pontianak, untuk sebuah sesi wawancara santai mengenai pengalamannya berpartisipasi dalam festival film pendek paling bergengsi di Asia, yaitu Mini Film Festival, di UNIMAS, Kuching, Malaysia, dua mingguan yang lalu.
Pada festival yang telah berlangsung selama dua dekade itu, UNIMAS memberi contoh suri tauladan bagi kampus-kampus lain dalam hal konsistensi dukungan institusi pendidikan tinggi bagi para generasi yang kreatif di bidang film pendek, format film yang digemari generasi muda karena tidak membutuhkan modal yang terlalu banyak untuk produksinya, dibanding film panjang.
Haris menekankan pengalaman bertukar ilmu dengan sineas dari provinsi lain di Kalimantan. Dalam hal ini, tidak lupa ia membandingkan bagaimana sineas Malaysia membangun nilai-nilai budaya dalam film-filmnya.
Dari segi penyelenggaraan, kebanyakan panitia adalah mahasiswi dan mahasiswa strata pertama, artinya Mini Film Festival sekaligus menunjukkan geliat budaya muda Malaysia dalam hal antusiasme mereka pada dunia sinematografi.
Ini mengindikasikan ada petanda-petanda zaman modern yang khas sebab sinematografi adalah wadah mengekspresikan diri yang bebas nilai, meski dalam publikasinya terutama jika dibawa ke panggung festival terbuka dan bagi masyarakat luas, kebebasan atas nilai ini dapat bersifat kompromistis.
Negosiasi nilai-nilai budaya dalam sinematografi ini diterangkan Haris sembari ia menjelaskan tiga buah film pendek yang ia bawa di festival tersebut, termasuk satu yang lolos seleksi, “Pasukan Semut” (“Sweet Squad”) membawa ide tentang persoalan anak di daerah perbatasan.
Nilai-nilai budaya yang sifatnya transaksional antarnegara merupakan sesuatu yang sangat khas perbatasan. Persoalan-persoalan perbatasan bisa dikatakan merupakan persoalan-persoalan terumit, sehingga menurut Haris, genre fiksi dapat mengakomodir kerumitan ini.
Menurut Haris, genre dokumenter lebih mengikat dengan aturan-aturan validasinya, gaya sinematografi, data, fakta sejarah, persis sebagaimana prinsip-prinsip dasar jurnalisme. Sedangkan, genre fiksi lebih tidak terikat aturan-aturan tersebut.
Haris mengaku lebih nyaman bermain di genre fiksi dibanding dokumenter, dilatari latar belakang pendidikannya di bidang akademis. Meski demikian, terlepas dari pilihan selera genre sebagai sineas, ia menambahkan bahwa ia tidak memungkiri, banyak teman-teman sineas yang berhasil melalui jalur otodidak. Pendidikan formal tidak menjadi prasyarat wajib memupuk selera sinematografi kita.
Mengenai Mini Film Festival, Haris mengaku bahwa Indonesia memiliki keunggulan tersendiri dibanding Malaysia sebagai produsen film pendek dalam tataran industri. Artinya, dari segi produktivitas, kita boleh dibilang mengungguli Malaysia, sedangkan dari segi kualitas, Haris dengan bijak menutup pernyataannya dengan sebuah diktum yang khas sebagai seorang dosen, “Bukan masalah alat, film bagus atau jelek, kita tidak bisa menghakimi, tiap orang punya selera.” Kata Haris. ()