Pegelaran Seni

Tevaraa Tingaang: Sastra Lisan Pascatradisional Dayak Kayan

Oleh: Bernard Selfry Yamaraja, B. Sc

Bertempat di Langkau Etnika Artspace, Jalan Pemuda, Sungai Rengas, pagelaran “Tevaraa Tingaang” dilaksanakan, tepat dimulai menjelang malam hari, Sabtu 27 Juli 2024. Disaksikan oleh penonton dari lapisan masyarakat awam, komunitas seni di institusi pendidikan tinggi, hingga para pegiat dan aktivis seni.

Acara berlangsung meriah, dibuka oleh permainan apik dari band Merah Jingga, tiupan suling tradisional saling susul-menyusul dengan distorsi gitar listrik dan vokal lantang yang menjadi tandem denting maskulin Sape’, stakato cepat, namun juga sesekali terdengar feminin dan melantun lembut. Tiga lagu dibawakan band lokal Kalimantan Barat yang diidolai ini. Memanaskan penonton agar lebih siap menyaksikan sesi utama.

Lampu tata panggung pun turut mendukung gerak-gerik para penari dari Sanggar Warsada. Mengiringi Talimaa, bertemakan masa kecil yang membutuhkan kasih sayang, saya dibawa ke alam sureal antara realitas pascamodern tempat saya berada, dan pascatradisional tempat saya meruang-mengada. Di situ lah fungsi psikologis sebuah tata pertunjukan seni, ia punya kekuatan magis bahkan analgesik, mengobati kekeringan dahaga atas penyembuh jiwa yang kurang diasup nada-nada dari leluhur, warga natif, yang acapkali tidak sengaja kita abai pada musik vokal yang mereka butuh untuk kita dengar sebagai pengingat keras sekaligus bersahabat, bagaimana progresivitas pembangunan modern yang katanya memiliki nilai-nilai kebersamaan justru memunculkan individualitas yang memilukan, dan Talimaa Dayak Kayan inilah satu di antara sekian banyak tombo ati (penyejuknya).

Acara ini berangkat dari kesadaran akan langkanya pembicaraan publik mengenai sastra lisan, di saat kita mengetahui sastra lisan atau sastra oral merupakan jenis sastra pelopor, diikuti sastra tulisan pada masa sejarah, kemudian sastra siber, pada masa munculnya forum-forum diskusi digital atau disebut milis (mailing list), era 1990-an.

Maka itu penyelenggara juga menghadirkan sesi diskusi pasca pagelaran, yang menghadirkan Fery Sape’ dan Gabriel sang koreografer dan ketua dari Langkau Etnika. Sesi diskusi ini melengkapi sekligus menjembatani proses pertukaran pengetahuan antara seniman dan publik, sehingga proses keseluruhan dari upaya literasi di dalam budaya Talima ini dapat tertransfer dengan lebih baik dan efektif.

Sebagai salah satu tempat pengembangan dan pelestarian budaya Kalimantan Barat yang telah berusia 2 tahun, Langkau Etnika Artspace memiliki area yang cukup mumpuni untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan kebudayaan. Jarak yang cukup jauh dari pusat kota Pontianak sama sekali tidak menjadi keluhan, sebab terbayarkan dengan perasaan tradisional yang muncul melalui arsitektur kayu dan jalan cukup panjang sebagai bulevar dari jalan utama lalu-lalang kendaraan bermotor menuju arena utama ruang pagelaran budaya, lengkap dihias gapura sebagai tanda penyambutan selamat datang bagi kita yang hendak menikmati acara di sana.

Tidak dipungut biaya sama sekali untuk menikmati acara ini. Saya yakin, inilah yang paling penting dalam sebuah pagelaran budaya, sebab di tengah-tengah kesulitan ekonomi masyarakat Indonesia, Kalimantan Barat wajib memperlihatkan contoh teladan dalam hal memperbolehkan seluas mungkin masyarakat khususnya yang masih awam serta berjarak dengan budaya tradisional. Jangan sampai tradisionalitas bahkan tradisionalisme, sebuah ideologi yang memihak kepentingan estetika tradisi kesukuan, tergerus oleh arus perkembangan zaman, yang kini dipandu dengan liarnya oleh kecarut-marutan media sosial.[]

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *