Oleh: Bernard Selfry Yamaraja, B.Sc
Bertempat di Pasar Tradisional Purnama, di Jalan Purnama Pontianak, pada hari Selasa, 23 Juli 2024, telah diselenggarakan pembukaan dari pameran “Kulu Kile’” yang mengangkat beberapa hal sekaligus, yakni tema-tema lingkungan, sosial, dan ekonomi di Daerah Aliran Sungai (DAS). Tepatnya, bagaimana masyarakat memanfaatkan posisi spasialnya di daerah aliran sungai untuk berekonomi.
Pameran ini merupakan hasil kerja kolaborasi Susur Galur dari Pontianak yang berfokus pada pelestarian sejarah dan budaya lokal, dengan ruangrupa dari Jakarta, sepasang kolektif seni kebudayaan yang telah berkiprah di Indonesia selama tidak kurang dari satu dekade.
Pengalaman panjang ini dituangkan ke dalam kerja-kerja kolaborasi kreatif yang memunculkan kepada kita sebuah paparan objektif nan optimistis mengenai nasib pembangunan ekonomi dan sosial di masyarakat Kalimantan Barat, pada umumnya, di masyarakat tepian Sungai Kapuas pada khususnya.
Hasil dari kerja kolaborasi kreatif ini adalah sebuah kenyataan sosial di mana letak spasial, atau geografi spasial dan temporal, sangat menentukan bagaimana cara-cara masyarakat berekonomi.
Pameran ini merupakan hasil kerja 10 tahun Artlab, salah satu divisi ruangrupa, yang mengaku tidak memiliki metode khusus dalam kerja-kerja kreatifnya terkait ruang urban dan pemetaan pola sosial kehidupan masyarakat.
Artlab menyusuri Sungai Kapuas menggunakan perahu, untuk melakukan pemetaan.
Pasar tradisional sebagai ruang ekonomi adalah inti dari pameran ini yang dikaitkan dengan praktik-praktik seni masyarakat yang kemudian diterjemahkan sebagai ruang pamer.
Pameran ini melibatkan beberapa kelompok seniman contohnya Balaan Tumaan, Underground Kartel, dan Kartel. Penampilan dimulai setelah pembukaan pameran.
Saya menangkap kesan bahwa pameran ini ditujukan untuk menginformasikan sudah sejauh apa kebudayaan masyarakat setempat dalam hal aspek sosiokulturalnya. Benar, bahwa Sungai Kapuas menjadi salah satu petanda atau “landmark” dari pariwisata lokal, namun bagaimana sebenarnya sehari-hari masyarakat berekonomi? Melalui apa?
Karya-karya yang ditampilkan di ruang pamer ini jelas memperlihatkan sebuah mutu estetika tinggi yang secara akurat memotret bagian-bagian penting dan menyeluruh dari kegiatan perekonomian ini, isu-isu lingkungan turut disentuh, tanpa pandang bulu, brutal dan jujur, itulah yang terkesan secara mudahnya saat saya menapaki tangga kayu menuju lantai 2 di mana ruang pamer diselenggarakan, dan dibentuk agar pengunjung dapat mengalami secara imersif dari segi audio, visual, instalasi, hingga pengalaman multimedia dan mix-media yang dimanfaatkan dengan sempurna oleh para seniman.
Singkat cerita, Pameran “Kulu Kile’” adalah signifikasi yang sewajarnya jadi monumen masyarakat Kalimantan Barat, agar dapat jadi memori kolektif yang positif, demi mengenang suksesnya kita menjaga keharmonisan sosiokultural dalam memajukan perekonomian lokal. ()