Tulisan Lepas

Film Komersil versus Film Festival di Pontianak

Oleh: Pieter Andas Parinatha

Di kalangan pemerhati dan pembuat film, istilah film komersil dan film festival sudah tidak asing lagi. Entah mengapa sebutan itu seperti tercetus saja karena ada banyak perbedaan dari segi kemasan, cara bertutur (menyampaikan cerita) bahkan nasib film itu sendiri. Kedua sebutan ini membentuk dikotomi yang cukup berpengaruh di benak pegiat film.

Bahkan, muncul istilah anak komunitas dan anak industri di skena perfilman luar Kalimantan Barat. Hal ini karena festival identik dihasilkan oleh kalangan komunitas, sedangkan film komersil dihasilkan oleh perusahaan film (baik kecil maupun besar). Walaupun tidak ada tolok ukur yang pasti dalam membedakannya. Hanya di permukaan terlihat perbedaan; film komersil meraup keuntungan secara finansial. Dia dibuat untuk dijual. Film festival menuai penghargaan dari segi nilai ilmu kefilman. Karena itu saya tertarik untuk mengulasnya dalam tulisan ini, yang tanpa terasa sudah mulai timbul di kalangan pegiat film Pontianak.

Film komersil berkesan mudah menarik perhatian penonton. Hal ini biasanya muncul dari pembuatnya yang menargetkan apa yang disukai para penonton. Trend yang sedang terjadi di masyarakat berusaha diikuti; mulai dari penyampaian dialog, sampai fesyen pun. Konflik yang disampaikan dengan gamblang juga menjadi salah satu sajiannya.

Film festival dibuat dengan kejaran nilai estetika tinggi. Nilai estetika ini, disampaikan oleh pembuatnya dengan maksud dan tujuan tertentu; mengerucut ke sebuah isu. Aspek filmis yang dipertontonkan terkadang sulit dimengerti oelh penonton kebanyakan karena disampaikan melalui simbol-simbol. Selayaknya sains,  jenis ini benar-benar berusaha berada di pakem-pakem pengetahuan sinema.

Dua Kutub

Saya mencoba menjadikan dua film karya sineas Kota Pontianak sebagai contoh. Ainun (Film pendek, 2017) karya Akil Wasa yang saya kategorikan sebagai film komersil, sedangkan Balalek (Film pendek, 2020) karya Haris Supiandi di film festival. Kedua film ini saya saksikan diputar pada hari yang sama di Siberdaya Movie Screening, pemutaran film-film pendek karya sineas Kalimantan Barat secara virtual pada senin, 30/08/21.

Film Ainun, bercerita tentang perjuangan seorang wanita bersama kelompoknya yang peduli dengan pendidikan, dengan mengajar anak-anak di Kampung Beting. Cerita disampaikan dengan ringan, dialog yang gamblang, dan pemandangan yang indah. Menurut pembuatnya, film ini bertujuan untuk mengubah image(stigma) Kampung Beting yang  terletak di timur Pontianak menjadi lebih baik di masyarakat Pontianak khususnya.

Tiga babak drama yang disajikan dalam film ini pun terkesan mudah dipahami. Dimulai dari usaha Ainun dan teman-temannya yang seperti sia-sia karena sulitnya mencari subjek yang mau mengikuti gerakan yang dinamai Komunitas Beting Pintar, hingga akhirnya, tentu saja membuahkan hasil. Bentuk seperti inilah yang menjadi image film komersil; penonton tinggal menikmati cerita yang disampaikan.

Film Balalek bercerita tentang luapan pemikiran antara Bapak dan anak, menyoal dilema pembakaran ladang. Isu ini menjadi perjuangan masyarakat adat dalam bertahan hidup dengan tata cara yang sudah turun-temurun dilakukan. Perbedaan pemikiran antara generasi tua dan generasi muda yang memiliki jalan dan tantangan masing-masing disampaikan dengan cara yang unik.

Layar dibelah menjadi dua; setiap layar menampilkan suasana yang berbeda dengan pendekatan warna bahkan suara pun berbeda berdasarkan sudut oleh sang sutradara yang membuat film ini sebagai thesis magister-nya. Dialog dengan maksud tersirat bersahut-sahutan disampaikan, tapi di dalam cerita mereka tidak berada dalam waktu yang sama. Akhir ceritanya dibiarkan menggantung. Inilah bentuk eksplorasi sinema yang coba dihantarkan oleh pembuatnya ke masyarakat.

Punya Tempat Masing-masing

Kedua film ini punya tempatnya masing-masing. Penonton akan membawa kesan yang sungguh berbeda dari keduanya. Bagus? Tergantung dari sisi mana menikmatinya. Ada penonton yang menyukai cerita yang gamblang disampaikan, dengan mengikuti harapan dan keinginannya terhadap cerita. Ada pula penonton yang lebih senang menantang diri dengan menerka, mengira, bahkan membaca maksud dari pertanda yang diberikan dalam film. Ada yang emnanggapinya sekadar hiburan, sebaliknya ada yang menganggap itu adalah sebuah nilai seni yang patut ditelaah. Semuanya sah-sah saja.

Tak menutup kemungkinan juga film komersil bisa menang dalam festival atau lomba, begitu juga sebaliknya; film film festival akan meraup untung besar. Tapi, jika jika film komersil dan film festival diibaratkan semua makhluk hidup di dunia ini, kembali lagi, semua ada tempatnya. Tempatnya tentu di hati penonton (yang menjadi pasar masing-masing).

Kedau film inimemang berada pada titik teratas pencapaiannya. Ainun sudah ditonton oelh ribuan masyarakat Pontianak dan Balalek sedang jalan-jalan di beberapa festival film. Tapi kemunculan ini menjadi tunas yang akan terus tumbuh, berbuah, dan akhirnya menebarkan bibitnya; memunculkan karya-karya yang lain di skena perfilman Pontianak. Mungkin jadi yang lebih besar, siapa tahu.

Niscaya industri film di Kota Pontianak akan berjalan, jika kedua ruang film yang berbeda ini mulai terisi. **

*Penulis adalah pegiat film yang tinggal di Pontianak.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *